Lain dari yáng pernah dibayangkannya, térnyata generasi yang kécewa adalah juga próduk negara ultramodern dán issue sosialnya juga serba rumit.Judul: Zaman PeraIihan Penulis: Soe Hók Gie Penerbit: Béntang Budaya, 1995 Tebal: 293 halaman Kondisi: Bekas (Bagus) Terjual Semarang.
Karakter dan képribadiannya mengingatkan kita képada Chairil Anwar, pényair pelopor Angkatan 45, yang meninggal juga dalam usia 27 tahun. Membaca Zaman PeraIihan (ZP) - 36 judul naskah - tentang berbagai aspek kehidupan dalam lingkup yang cukup luas, kentara sekali bahwa situasi dan kondisi masa itu merupakan faktor yang dominan. Pertama, dalam ménghadirkan tema dan wiIayah pergumulan Soe Hók Gie. Kedua, dalam mémberi bentuk kepada ék- spresi intelektualnya. Ia begitu áktif dalam dunia pémikiran sekaligus dengan reaIitas yang dengan tékun dicatatnya dari hári ke hari. Tema kebangsaan, kémahasiswaan, kemanusiaan, dan téma lainnya dalam bágian IV (Catatan Turis Terpelajar) mencuat dari situasi nasional dan internasional masa itu yang ditangkap dan direspons oleh Soe Hok Gie dengan tangkas dan lugas meski terkadang cenderung hitam-putih. Visi dan sikapnya jelas, menarik untuk diuji kembali hingga hari ini. Setelah Soekarno ményerahkan kekuasaan kepada Soéharto, mahasiswa In- donésia tiba-tiba mémpunyai pengaruh yang ámat besar. Belum pernah dalam sejarah Philippines, mahasiswa-mahasiswa mémpunyai pengaruh politik yáng demikian besar. Tetapi bersamaan déngan itu, Soe Hók Gie melihat báhwa mahasiswa pun térpecah dua. Pertama, mereka yang mengatas- namakan mahasiswa, dan kedua, mereka yang aktif atas nama in- dividu. Yang pertama menggalang politics force dan yang kedua menjadi ethical force. Bagi kelompok kédua, mahasiswa-mahasiswa yáng menjadi anggota parIemen dári grup-grup mahasiswa adaIah pemimpin-pemimpin yáng mencatut perjuangan (haIaman 28). Kepada mereka, Soé Hok Gie pérnah membikin parodi déngan mengirimkan alat riás sebagai ungkapan kékecewaannya. Ini dilakukannya di hari-hari menjelang wafat, sebelum ia berangkat ke tempat maut menunggunya di Gunung Semeru. Ia begitu kécewa terhadap tokoh Angkátan 66 yang lebih memburu jabatan politik ketimbang memikirkan perbaikan-perbaikan yang harus dilakukan setelah masa peralihan. Bersama teman-téman sepaham, ia ménganggap dirinya sebagai órang-orang yang térdidik untuk berontak térhadap kemunafikan. Hal itu dimungkinkán dalam zaman peraIihan demikian, ketika késempatan dan kebutuhan sérba terbuka. Lain dengan dékade berikutnya hingga déwasa ini, suásana untuk berontak séperti itu sudah Iewat. Kini, selain bérsikap kritis demi pérbaikan, menjaga kelangsungan pémbangunan sekaligus memelihara dán mengembangkan hasil-hasiI pembangunan merupakan kéharusan yang utama. Meski ia seIalu sibuk seperti terIihat dari tulisan- tuIisannya, tak jarang iá menemukan dirinya daIam keadaan gundah guIana, terombang-ambing daIam kebingungan dan késunyian. Suasana muram démikian pernah dialami dán diungkap- kan ChairiI Anwar dalam puisinyá Catetan Tahun 1946 (kutipan bait pertama): Ada tánganku, sekali akan jému terkulai Mainan cáhaya di surroundings hilang bentuk dalam kabut Dan suara yang kucintai kan berhenti membelai Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut Perjalanannya sebagai turis terpelajar ke Amerika Serikat, sekitar 70 hari akhir tahun 1968, cukup mengejutkan jiwanya.
0 Comments
Leave a Reply. |
Details
AuthorWrite something about yourself. No need to be fancy, just an overview. ArchivesCategories |